Putusan Pengawas Terkait Napi Korupsi Harus Dikoreksi
Jakarta, kpu.go.id - Masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi untuk Pemilu Berintegritas mendesak Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengoreksi putusan jajarannya disejumlah kabupaten serta provinsi yang mengabulkan permohonan mantan narapidana korupsi bisa ikut dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019.
Diketahui, tiga daerah yang jajaran pengawasnya mengabulkan permohonan sengketa mantan napi korupsi antara lain Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Kabupaten Toraja Utara, Bawaslu Aceh serta Bawaslu Sulawesi Utara. “Saya kira ini ancaman serius terhadap kualitas pemilu. Terjadinya penurunan kualitas pemilu kita kalau penyelenggara model seperti ini,” ujar Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay dalam sebuah diskusi di Media Center Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kamis (16/8/2018).
Hadar pun mempertanyakan sikap berbeda yang ditunjukkan Bawaslu dan jajarannya dalam mempersepsikan Peraturan KPU (PKPU) No 14 serta 20 Tahun 2018. Sementara dalam setiap pembuatan peraturannya (Perbawaslu), lembaga tersebut menurut dia selalu menunggu PKPU diundangkan. “Selama ini ketika ditanya dimana Perbawaslu, selalu dijawab menunggu PKPU,” kata Hadar.
Desakan yang sama dilontarkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Almas Sjafrina, serta penelitia Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Shader yang meminta agar Bawaslu RI segera mengoreksi putusan jajarannya yang berseberangan dengan semangat PKPU 14 serta 201 Tahun 2018. Langkah ini menurut dia bisa dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 95 huruf (f) Undang-undang (UU) 7 Tahun 2017. “Jadi bisa dikoreksi,” tutur Titi.
Bahkan menurut Mulki putusan yang dikeluarkan oleh Bawaslu dan jajarannya tidak perlu diikuti karena bertentangan dengan PKPU. “Apalagi aturan ini masih hidup dan belum dicabut,” tambah Mulki.
Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Adeline Syahda yang mengingatkan Bawaslu RI masih punya waktu untuk segera merevisi putusan jajarannya tersebut. “Belum terlambat kalau ingin mengubahnya, segera keluarkan rekomendasi mengembalikan putusan yang sesuai dengan aturan,” ucap Adel.
Dia juga mempertanyakan sikap Bawaslu dan jajaran yang tidak sepakat dengan PKPU justru bereaksi dengan mengabulkan permohonan para mantan napi korupsi. Padahal sepatutnya menurut Adel Bawaslu sejak aturan tersebut diundangkan bisa mengajukan judicial review (pengujian kembali) ke Mahkamah Agung (MA). “Tapi kita lihat Bawaslu tidak menggunakan itu. Artinya kita lihat hari ini sikapnya kontradiktif,” tambah Adel.
Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas (Pusako Unand) Feri Amsari menilai setidaknya ada tiga hal yang dilanggar dari sikap Bawaslu dan jajarannya dalam menyikapi PKPU tentang larangan napi korupsi, mantan kejahatan seksual anak serta bandar narkotika ikut dalam Pemilu 2019. Pertama sikap berlawan dengan sikap pengawas sendiri yang sudah membuat pakta integritas bersama partai politik untuk tidak mencalonkan tiga jenis napi tersebut. “Artinya mereka sedang mencoreng wajah mereka sendiri,” ucap Feri.
Kedua, sikap yang ditunjukkan Bawaslu inkonstitusional karena berlawanan dengan tujuan penyelenggara mengawasi pemilu dijalankan dengan benar. Menurut Feri tugas KPU membuat aturan teknis penyelenggaraan pemilu sementara Bawaslu memastikan aturan dijalankan sesuai “Sementara ketigaBawaslu melanggar substansi pencalonan pemilu legislatif sendiri, agar lembaga perwakilan diisi oleh orang baik,” jelas Feri.
Sementara itu Komisioner KPU Wahyu Setiawan mengungkapkan bahwa pihaknya telah berupaya untuk memberikan penjelasan rinci terkait PKPU 20 Tahun 2018 kepada Bawaslu. Namun sayangnya dari hasil pengamatan yang dilakukan, jajaran pengawas sedari awal memang memiliki cara pandang yang berbeda terkait larangan mantan napi korupsi, kejahatan seksual terhadap anak serta bandar narkotika ikut dalam pemilu. “Kebetulan saya yang diutus untuk berkordinasi dengan Bawaslu, ternyata kesimpulan saya atas diskusi informal, mereka menafikkan PKPU,” tutur Wahyu.
Terkait putusan pengawas di tiga daerah yang mengabulkan permohonan tiga mantan napi korupsi ikut dalam pemilu, Wahyu memastikan bahwa lembaganya telah bersurat dengan Bawaslu RI agar putusan tersebut dikoreksi. Dia cemas apabila hal ini tidak segera direspon maka dapat menular ke daerah lain. “Surat sudah kami sampaikan. Kami minta Bawaslu bersama jajaran tetap mengacu pada PKPU 20 Tahun 2018,” tutup Wahyu. (hupmas kpu dianR/foto: JAP27-ieam/ed diR)
Bagikan:
Telah dilihat 1,132 kali